June 20th, 2008
Cerpen Remaja; Siang Hari di Watu Ulo
Majalah Annida 2001Cerpen Remaja: Retno Wi
Anak-anak mulai turun ke laut. Ah, pasti mereka bahagia, melepas lelah setelah tiga minggu ujian. Aku baringkan tubuhku di atas sebuah batu. Aku memang ingin sendiri. Selain itu, aku juga tidak ingin kakiku yang terluka karena tusukan paku menjadi perih oleh air laut.
Kuubah posisi dudukku agar lebih enak. Matahari siang ini sungguh baik, tidak panas seperti biasanya. Kurasakan desiran lembut angin pantai yang memperainkan jilbabku. Alhamdulillah Pantai Watu Ulo kali ini sepi sehingga aku dapat berbaring dengan aman.
“Assalamu’alaikum” Sebuah suara mengejutkanku. Aku bingung bercampur heran. Anak-anak masih asyik bermain air laut. Lalu, suara siapa itu? Keningku berkerut mencoba menerka-nerka, mungkinkah………“Ya, ini aku. Ombak.” Sebuah deburan lembut menyapu ujung gamisku. Perih. Itulah yang kurasakan saat lukaku terkena air garam.
“Rupanya kau memperhatikanku.” Kusambut ombak dengan riang. Ombak itu meninggi, menunjukkan kemahirannya. Sesekali ia menghantam batu karang.“Kesendirianmu yang membuat aku tertarik, Ary.”“Ary?” Kueja namaku sendiri. “Bagaimana kau tahu?” Ombak tertawa bersama angin. Suaranya yang bergemuruh membuat burung camar terbang menjauh.
“Tentu saja, Ary. Bukankah kau pernah ke sini sebelumnya. Ke pantai ini. Watu Ulo.”Aku hanya diam membenarkan. Setahun yang lalu aku memang ke sini. “Apakah kau juga tahu tentang anak-anak itu?”“Aku tahu semua yang datang ke sini. Aku hafal nama mereka, apa saja yang mereka lakukan di sini. Aku akan ingat semua peristiwa yang terjadi di pantai ini.”
Kusilangkan tanganku di bawah kepala. Kulihat anak-anak itu masih tertawa-tawa dengan pakaian mereka yang basah. “Apakah teman-temanmu juga berbuat sepertimu, wahai ombak?” Ombak berputar dengan cepat dan menghantam batu karang dengan garang. Aku tahu ia sedang menertawakanku. Ombak kembali ke laut, kemudian datang bersama angin.
“Bukankah kau juga tahu tentang hal itu, Ry? Aku, angin, pantai pohon-pohon, bahkan batu yang kau tempati. Kami semua akan selalu ingat setiap peristiwa yang yang terjadi di sini. Itu adalah tugas kami. Kami harus ingat karena kami akan menjadi saksi pada Hari Kebangkitan nanti.” Perlahan ombak turun ke laut lagi. Tak lama kurasakan kedatangannya bersama angin dan beberapa temannya. Kutekuk kakiku untuk menghindari kedatangan mereka.
“Kau tak perlu heran, karena memang itulah yang diamanahkan Allah kepada kami.” Kudengar angin mulai bersuara. Aku merasa tertekan oleh ucapannya. Kurasakan gemuruh ombak bersama angin menusuk telingaku dengan kuat. Mereka berusaha meyakinkan diriku tentang kebenaran ucapannya. Pipiku terasa basah. Bukan, bukan ulah ombak.Tapi air mataku yang menetes perlahan. Angin dan ombak masih setia menemaniku. Angin berusaha menghapus air mataku dengan lembut.
“Kenapa menangis, Ary? Bukankah itu tugasmu juga? Tugas manusia untuk selalu memberi peringatan. Karena kalian adalah makhluk yangn berakal, yang dinobatkan menjadi khalifah di atas bumi”Sekarang tidak hanya satu butiran yang mengalir di pipiku. “Tapi bagaimana kalian bisa begitu taat kepadanya sementara kami yang berakal……….” Tak sanggup aku untuk meneruskan kata-kataku.
“Kami memang takkan pernah sanggup menentang-Nya.” Ombak bersuara pelan. Sangat pelan. “Dia terlalu agung untuk ditentang, Ary. Dengan sukarela atau terpaksa kita akan tetap tunduk dan taat kepada-Nya.” Suara angin membuat bulu kudukku merinding. Kuraih botol minuman yang ada di sampingku. Kuteguk isinya setelah mengucap basmalah. Kutatap langit. Kucari matahari, tapi yang kutemukan hanyalah mendung yang kelabu. Kualihkan pandanganku ke laut. Anak-anak masih berkejaran berebut kerang.
“Bagaimana dengan anak-anak itu?”“Apa maksudmu, Angin?” Kulihat matahari mengintip dari celah awan. Rupanya ia tertarik untukl mendengarkan kami.“Bukankah telah menjadi kewajibamu untuk membuat mereka ingat kepada-Nya. Mengembalikan mereka kepada fitrah. Awan bergerak cepat menutupi matahari. Sepertinya ia tidak suka matahari mencuri dengar percakapan kami.
“Itulah sebabnya mereka aku bawa kemari.” Aku memang tak sanggup lagi membimbing mereka. Mereka sebenarnya anak-anak yang baik. Rajin salat, tilawah Qur’an bahkan qiyamullail. Tapi mereka masih tomboy, cuek, dan kadang semaunya. Mereka juga masih belum mau meninggalkan pacaran dan masih enggan berjilbab. Sepertinya aku sudah kehabisan cara untuk menjelaskan kepada mereka. Aku tidak berhasil. Aku gagal. Dan aku telah merencanakan agar mereka dibimbing orang lain. Meskipun aku masih berat melepas mereka. Aku memang sangat dekat dengan mereka, tapi ternyata itu tidak cukup. Kepergian kami kemari sepertinya akan menjadi perpisahan bagi kami.
“Apa mereka sudah tahu akan rencanamu?” Aku hanya menggeleng lemah. Suasana mendadak sepi. Angin menggiring ombak ke laut. Anak-anak mulai menuju pantai untuk berjemur.“Mengapa kau begitu bodoh, Ary?” Sebuah suara bernada dingin mengusikku. Kulihat angin masih mempermainkan burung camar. “Apakah engkau tidak memperhatikan kami?” Aku terhenyak. Ternyata suara itu berasal dari batu karang di depanku.
“Lihatlah batu karang yang besar dan angkuh itu!” Kuarahkan pandanganku ke selatan, di sana memang berdiri tegak sebuah batu karang. Puncaknya tinggi menantang langit. Aku tak percaya ombak dapat mencapai puncaknya.
“Seperti itulah aku dulu.”Mataku membesar seketika. Kuamati dengan seksama batu karang di depanku. Aku masih belum percaya. Di hadapanku hanyalah sebongkah batu seperti yang kutempati. Tidak lebih.“Bagaimana mungkin kau berubah seperti ini?” Batu karang itu hanya tersenyum, namun senyumnya segera sirna saat ombak dan angin datang menghantamnya.
“Kau lihat batu karang ini. Apakah hati anak-anak itu lebih keras darinya?” Angin mendorong ombak menghantam batu karang sekali lagi.“Dan apakah kau lebih lemah dari aku?”“Mengapa kau katakan dirimu lemah dari aku? Padahal aku merasa takut saat mendengar gemuruhmu. Aku ngeri melihatmu menghantam kuat batu karang. Apalagi saat kau tenggelamkan perahu nelayan. Untunglah untuk yang terakhir aku tak pernah melihat langsung.”“Ya, Allah Tuhanku.” Ombak tertawa mengejekku. Diguyurnya badanku hingga basah. Kuusap wajahku yang basah oleh air laut.
“Mengapa Kau berikan akal itu pada manusia kalau mereka tak pernah menggunakannya?” Terus terang aku sangat tersinggung. Aku bangkit dan berjalan ke arah batu karang yang agak tinggi. Di tempat ini aku dapat berhadapan langsung dengan ombak.
“Perhatikan aku, Ary. Aku hanyalah air biasa. Air laut. Tidak lebih. Dan tentunya kau sangat paham bagaimana keadaan air, wahai calon sarjana fisika!”Aku hanya mampu diam. Tak tahu harus berkomentar apa. Kuhirup udara-udara di sekitarku dengan dalam. Kulangkahkan kakiku ke selatan. Ke arah batu karang yang besar dan kokoh. Kuperas ujung jilbabku yang basah. Ombak masih terus mengikuti langkahku sampai aku berhenti. Kuamati batu karang yang menjulang itu.
“Berapa waktu yang kau perlukan untuk membuat batu karang itu menjadi seperti dia?” Kutunjuk sebongkah batu yang tidak seberapa besar.“Ary, aku tidak pernah menghitung pekerjaanku dalam bilangan tahun atau abad. Aku menghitungnya dalam menit dan detik. Bahwa setiap menit, setiap detik, aku harus menerjang batu karang itu. Tak peduli sampai kapan.”
“Kau … Ya Allah, ampuni Ary. Padahal aku hanya menghadapi mereka sekali dalam seminggu. Dan aku sudah merasa berbuat banyak. Aku memang bodoh.”Angin menyeret ombak agar meninggalkanku sendirian. Aku berjalan ke utara. Kulangkahkan kakiku di antara batu karang yang mendadak menjadi bisu dan tuli.
“Mbak Ary, tidak ingin turun ke laut?!” Fitri mengibaskan rambutnya yang masih basah.“Mbak takut kaki yang tertusuk paku menjadi perih oleh air garam. Sekarang saja sudah merasa perih.”Ya Allah, haruskah aku melepas mereka. Bimbang masih mengisi kisi hatiku. Tidak. Aku tidak akan melepas mereka. Wahai ombak, kau dan teman-temanmu yang akan menjadi saksi akan tekadku ini. Ombak tampak bersorak. Bersama angin ia menyongsong kami.
“Awas, Mbak Ary, ombaknya besar!” Niken berteriak. Anak-anak berlarian menjauhi ombak. Aku tersenyum dengan tingkah mereka. Kurasakan kesejukan di hatiku mengalahkan pedihnya kakiku.“Adik-adik, sepertinya sudah ashar. Sebaiknya kita segera salat dan bersiap-siap untuk pulang.”Mobil yang kami bawa mulai bergerak menaiki bukit dan menjauhi pantai. Ombak melambai-lambai melepas kepergian kami.
“Jangan lupa, Ry. Bukan terjangan terakhirku yang membuat batu karang terbelah. Tapi setiap terjangan itulah yang menyebabkan karang menjadi hancur pada saatnya nanti.”
Pantai Watu Ulo Jember in memoriam
Cerpen Remaja; Siang Hari di Watu Ulo
Majalah Annida 2001Cerpen Remaja: Retno Wi
Anak-anak mulai turun ke laut. Ah, pasti mereka bahagia, melepas lelah setelah tiga minggu ujian. Aku baringkan tubuhku di atas sebuah batu. Aku memang ingin sendiri. Selain itu, aku juga tidak ingin kakiku yang terluka karena tusukan paku menjadi perih oleh air laut.
Kuubah posisi dudukku agar lebih enak. Matahari siang ini sungguh baik, tidak panas seperti biasanya. Kurasakan desiran lembut angin pantai yang memperainkan jilbabku. Alhamdulillah Pantai Watu Ulo kali ini sepi sehingga aku dapat berbaring dengan aman.
“Assalamu’alaikum” Sebuah suara mengejutkanku. Aku bingung bercampur heran. Anak-anak masih asyik bermain air laut. Lalu, suara siapa itu? Keningku berkerut mencoba menerka-nerka, mungkinkah………“Ya, ini aku. Ombak.” Sebuah deburan lembut menyapu ujung gamisku. Perih. Itulah yang kurasakan saat lukaku terkena air garam.
“Rupanya kau memperhatikanku.” Kusambut ombak dengan riang. Ombak itu meninggi, menunjukkan kemahirannya. Sesekali ia menghantam batu karang.“Kesendirianmu yang membuat aku tertarik, Ary.”“Ary?” Kueja namaku sendiri. “Bagaimana kau tahu?” Ombak tertawa bersama angin. Suaranya yang bergemuruh membuat burung camar terbang menjauh.
“Tentu saja, Ary. Bukankah kau pernah ke sini sebelumnya. Ke pantai ini. Watu Ulo.”Aku hanya diam membenarkan. Setahun yang lalu aku memang ke sini. “Apakah kau juga tahu tentang anak-anak itu?”“Aku tahu semua yang datang ke sini. Aku hafal nama mereka, apa saja yang mereka lakukan di sini. Aku akan ingat semua peristiwa yang terjadi di pantai ini.”
Kusilangkan tanganku di bawah kepala. Kulihat anak-anak itu masih tertawa-tawa dengan pakaian mereka yang basah. “Apakah teman-temanmu juga berbuat sepertimu, wahai ombak?” Ombak berputar dengan cepat dan menghantam batu karang dengan garang. Aku tahu ia sedang menertawakanku. Ombak kembali ke laut, kemudian datang bersama angin.
“Bukankah kau juga tahu tentang hal itu, Ry? Aku, angin, pantai pohon-pohon, bahkan batu yang kau tempati. Kami semua akan selalu ingat setiap peristiwa yang yang terjadi di sini. Itu adalah tugas kami. Kami harus ingat karena kami akan menjadi saksi pada Hari Kebangkitan nanti.” Perlahan ombak turun ke laut lagi. Tak lama kurasakan kedatangannya bersama angin dan beberapa temannya. Kutekuk kakiku untuk menghindari kedatangan mereka.
“Kau tak perlu heran, karena memang itulah yang diamanahkan Allah kepada kami.” Kudengar angin mulai bersuara. Aku merasa tertekan oleh ucapannya. Kurasakan gemuruh ombak bersama angin menusuk telingaku dengan kuat. Mereka berusaha meyakinkan diriku tentang kebenaran ucapannya. Pipiku terasa basah. Bukan, bukan ulah ombak.Tapi air mataku yang menetes perlahan. Angin dan ombak masih setia menemaniku. Angin berusaha menghapus air mataku dengan lembut.
“Kenapa menangis, Ary? Bukankah itu tugasmu juga? Tugas manusia untuk selalu memberi peringatan. Karena kalian adalah makhluk yangn berakal, yang dinobatkan menjadi khalifah di atas bumi”Sekarang tidak hanya satu butiran yang mengalir di pipiku. “Tapi bagaimana kalian bisa begitu taat kepadanya sementara kami yang berakal……….” Tak sanggup aku untuk meneruskan kata-kataku.
“Kami memang takkan pernah sanggup menentang-Nya.” Ombak bersuara pelan. Sangat pelan. “Dia terlalu agung untuk ditentang, Ary. Dengan sukarela atau terpaksa kita akan tetap tunduk dan taat kepada-Nya.” Suara angin membuat bulu kudukku merinding. Kuraih botol minuman yang ada di sampingku. Kuteguk isinya setelah mengucap basmalah. Kutatap langit. Kucari matahari, tapi yang kutemukan hanyalah mendung yang kelabu. Kualihkan pandanganku ke laut. Anak-anak masih berkejaran berebut kerang.
“Bagaimana dengan anak-anak itu?”“Apa maksudmu, Angin?” Kulihat matahari mengintip dari celah awan. Rupanya ia tertarik untukl mendengarkan kami.“Bukankah telah menjadi kewajibamu untuk membuat mereka ingat kepada-Nya. Mengembalikan mereka kepada fitrah. Awan bergerak cepat menutupi matahari. Sepertinya ia tidak suka matahari mencuri dengar percakapan kami.
“Itulah sebabnya mereka aku bawa kemari.” Aku memang tak sanggup lagi membimbing mereka. Mereka sebenarnya anak-anak yang baik. Rajin salat, tilawah Qur’an bahkan qiyamullail. Tapi mereka masih tomboy, cuek, dan kadang semaunya. Mereka juga masih belum mau meninggalkan pacaran dan masih enggan berjilbab. Sepertinya aku sudah kehabisan cara untuk menjelaskan kepada mereka. Aku tidak berhasil. Aku gagal. Dan aku telah merencanakan agar mereka dibimbing orang lain. Meskipun aku masih berat melepas mereka. Aku memang sangat dekat dengan mereka, tapi ternyata itu tidak cukup. Kepergian kami kemari sepertinya akan menjadi perpisahan bagi kami.
“Apa mereka sudah tahu akan rencanamu?” Aku hanya menggeleng lemah. Suasana mendadak sepi. Angin menggiring ombak ke laut. Anak-anak mulai menuju pantai untuk berjemur.“Mengapa kau begitu bodoh, Ary?” Sebuah suara bernada dingin mengusikku. Kulihat angin masih mempermainkan burung camar. “Apakah engkau tidak memperhatikan kami?” Aku terhenyak. Ternyata suara itu berasal dari batu karang di depanku.
“Lihatlah batu karang yang besar dan angkuh itu!” Kuarahkan pandanganku ke selatan, di sana memang berdiri tegak sebuah batu karang. Puncaknya tinggi menantang langit. Aku tak percaya ombak dapat mencapai puncaknya.
“Seperti itulah aku dulu.”Mataku membesar seketika. Kuamati dengan seksama batu karang di depanku. Aku masih belum percaya. Di hadapanku hanyalah sebongkah batu seperti yang kutempati. Tidak lebih.“Bagaimana mungkin kau berubah seperti ini?” Batu karang itu hanya tersenyum, namun senyumnya segera sirna saat ombak dan angin datang menghantamnya.
“Kau lihat batu karang ini. Apakah hati anak-anak itu lebih keras darinya?” Angin mendorong ombak menghantam batu karang sekali lagi.“Dan apakah kau lebih lemah dari aku?”“Mengapa kau katakan dirimu lemah dari aku? Padahal aku merasa takut saat mendengar gemuruhmu. Aku ngeri melihatmu menghantam kuat batu karang. Apalagi saat kau tenggelamkan perahu nelayan. Untunglah untuk yang terakhir aku tak pernah melihat langsung.”“Ya, Allah Tuhanku.” Ombak tertawa mengejekku. Diguyurnya badanku hingga basah. Kuusap wajahku yang basah oleh air laut.
“Mengapa Kau berikan akal itu pada manusia kalau mereka tak pernah menggunakannya?” Terus terang aku sangat tersinggung. Aku bangkit dan berjalan ke arah batu karang yang agak tinggi. Di tempat ini aku dapat berhadapan langsung dengan ombak.
“Perhatikan aku, Ary. Aku hanyalah air biasa. Air laut. Tidak lebih. Dan tentunya kau sangat paham bagaimana keadaan air, wahai calon sarjana fisika!”Aku hanya mampu diam. Tak tahu harus berkomentar apa. Kuhirup udara-udara di sekitarku dengan dalam. Kulangkahkan kakiku ke selatan. Ke arah batu karang yang besar dan kokoh. Kuperas ujung jilbabku yang basah. Ombak masih terus mengikuti langkahku sampai aku berhenti. Kuamati batu karang yang menjulang itu.
“Berapa waktu yang kau perlukan untuk membuat batu karang itu menjadi seperti dia?” Kutunjuk sebongkah batu yang tidak seberapa besar.“Ary, aku tidak pernah menghitung pekerjaanku dalam bilangan tahun atau abad. Aku menghitungnya dalam menit dan detik. Bahwa setiap menit, setiap detik, aku harus menerjang batu karang itu. Tak peduli sampai kapan.”
“Kau … Ya Allah, ampuni Ary. Padahal aku hanya menghadapi mereka sekali dalam seminggu. Dan aku sudah merasa berbuat banyak. Aku memang bodoh.”Angin menyeret ombak agar meninggalkanku sendirian. Aku berjalan ke utara. Kulangkahkan kakiku di antara batu karang yang mendadak menjadi bisu dan tuli.
“Mbak Ary, tidak ingin turun ke laut?!” Fitri mengibaskan rambutnya yang masih basah.“Mbak takut kaki yang tertusuk paku menjadi perih oleh air garam. Sekarang saja sudah merasa perih.”Ya Allah, haruskah aku melepas mereka. Bimbang masih mengisi kisi hatiku. Tidak. Aku tidak akan melepas mereka. Wahai ombak, kau dan teman-temanmu yang akan menjadi saksi akan tekadku ini. Ombak tampak bersorak. Bersama angin ia menyongsong kami.
“Awas, Mbak Ary, ombaknya besar!” Niken berteriak. Anak-anak berlarian menjauhi ombak. Aku tersenyum dengan tingkah mereka. Kurasakan kesejukan di hatiku mengalahkan pedihnya kakiku.“Adik-adik, sepertinya sudah ashar. Sebaiknya kita segera salat dan bersiap-siap untuk pulang.”Mobil yang kami bawa mulai bergerak menaiki bukit dan menjauhi pantai. Ombak melambai-lambai melepas kepergian kami.
“Jangan lupa, Ry. Bukan terjangan terakhirku yang membuat batu karang terbelah. Tapi setiap terjangan itulah yang menyebabkan karang menjadi hancur pada saatnya nanti.”
Pantai Watu Ulo Jember in memoriam
0 komentar:
Posting Komentar